Diisapnya dalam-dalam Sampoerna Mild terakhir. Lelaki itu tertegun tak percaya, bagaimana bangunan rumahtangga yang telah dibinanya selama 20 tahun kandas dua hari yang lalu....
Masih terngiang jelas nasehat hakim pengadilan agama : "ibarat perjalanan ke Surabaya, sdr Ir. Hafid bin H. Diran dan sdri Dr. Dwina binti H. Suhaeri, kalian berdua naik kereta vvip, bukan kereta ekonomi... Tuhan telah menganugerahi kemurahan-kemurahan begitu rupa dalam perjalanan kalian berdua. Belum sampai di Surabaya, mengapa mesti turun di Semarang? Cobalah tengok kedalam bekal perjalanan takurang suatu apa.... dikaruniai putera-puteri yang beranjak dewasa. Banyak nian suami isteri tak dikaruniai keturunan, tak berhasil di dokter lantas pergi ke gunung kawi, pergi ke dukun-dukun... Kalian tengoklah kedalam betapa serasinya.. suami bisa salah pun isteri bisa pula salah... tengoklah kedalam sebelum turun di tengah jalan..."
Sesekali diisapnya lagi kepulan asap terakhir : "pak hakim, nasehat pak hakim adalah nasehat terbaik yang pernah saya dengar, tapi pak hakim ijinkan saya berkata TIDAK untuk berlabuh di Surabaya, saya harus turun di semarang" pak hakim, saya harus berpisah..." Terbata-bata Dwina mematahkan nasehat pak hakim.
Lelaki itu menarik nafas panjang: "pak hakim, tangan ini memang letih memegang kemudi, keretanya berguncang terus, tapi perjalanan mestilah sampai di tempat tujuan Surabaya. Biar jauh dan sesekali kereta berhenti, bantulah sampai di tujuan pak hakim... tapi Dwina telah turun di Semarang pak hakim. Saya tak lagi pegang kemudi. Mohon keadilan pak hakim, pantaskah masinis menghentikan jalannya kereta ini sebelum tiba di tujuan?"
Hafid dan Dwina adalah fragmen kehidupan. Perjalanan hidup adalah rahasia Tuhan. Hafid terpukul, bagaimana menjelaskan semua ini kepada putera-puterinya yang tercinta? Pun Dwina tercenung.
Fragmen kehidupan tak selamanya seperti cerita roman picisan yang berakhir bahagia. Ini sebuah realita yang sungguh pahit, sebuah realita yang kelam.. "Ayaaahhh pulang yaaah..." Hafid tersentak. Ditatapnya dalam-dalam mata anak laki semata wayang yang berlinang air mata. Anak itu baru saja terlepas dari jerat kehidupan kelam.. mengapa harus menerima pil pahit dari orang tuanya?
Bibir Hafid kelu... Dwina diam terpaku, anak laki semata wayang itu cuma menatap kedua orang tuanya dan berkata lirih : Ayaah.. Bundaa... adakah hari esok?"